IMPLEMENTASI PRINSIP PEMBEDAAN HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK
BERSENJATA
Penulis
Nama
:
Bella Mutia Miandari
NPM
: 1012011133
Mata Kuliah
: Hukum Humaniter Internasional

F A K U L T
AS H U K U M
U N I V E R
S I T A S L A M P UN G
2 0 1 2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat
Allah SWT. Bahwa penulis telah menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum
Humaniter Internasional. Dalam penyusunan makalah ini, ada sedikit hambatan
yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua,
sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
Yang telah memberikan tugas dan petunjuk
kepada penulis sehingga penulis termotivasi dan menyelesaikan makalah ini. Orang
tua yang telah turut membantu, membimbing dan mengatasi berbagai kesulitan
sehingga makalah ini selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan
dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharap kritik dan saran
yang membangun guna perbaikan tugas-tugas yang akan datang. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis
sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai, amin.
Bandar Lampung, Mei 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................. i
DAFTAR ISI.............................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................................................... 1
B.Permasalahan ..................................................................................................................... 4
BAB III PEMBAHASAN............................................................................................................ 5
A. Definisi Definisi dari Terminologi masalah......................................................................... 5
B. Prinsip Pembedaan Dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter ..................... 8
a. Tujuan Prinsip Pembedaan............................................................................................ 9
b. Asas Umum Prinsip Pembedaan................................................................................. 10
c. Penerapan Aturan Hukum Mengenai Prinsip Pembedaan.......................................... 10
BAB IV PENUTUP .................................................................................................................. 12
A. Kesimpulan................................................................................................................ 15
B. Saran.......................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................. 16
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tak dapat dipungkiri bahwa hukum dan
pelanggaran itu adalah suatu yang saling berdampingan layaknya pepatah tua
yaitu bila ada siang maka ada malam, ada hitam ada putih, ada atas ada bawah,
ada baik maka ada buruk, dan sebagainya.
Disini adalah merupakan suatu hukum alam
yang dibuat oleh Tuhan dimana selalu ada perbedaan di dalamnya yang saling
berdampingan sehingga terciptanya suatu dinamika. Begitupun dalam realita
kehidupan manusia yang selalu akan haus kedudukan dan kemenangan sehingga
terjadi suatu permusuhan. Dalam suatu permusuhan mereka buta terhadap sesuatu
yang orang lain pandang itu tak layak
namun layak bagi mereka. Sehingga mereka pun berlaku kejam tak dan melakukan
sesuatu tanpa memperdulikan apapun semata – mata demi kemenangan.
Dalam sejarah dunia, perang merupakan suatu
hal yang tidak lazim lagi bagi kalangan manusia, bahkan bisa dikatakan bahwa
perang akan selalu ada dan sulit untuk dihindari atau dihapuskan dalam
perkembangan sejarah dunia. Hal ini pun diperkuat oleh berbagai fakta sejarah
peradaban dunia, dimana dari masa ke masa, bahkan sebelum masehi hingga pada
abad sekarang ini, peperangan senantiasa mengambil korban dalam jumlah yang
banyak dan berujung kepada penderitaan, baik itu pada pihak yang berperang
maupun pihak yang tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan
tersebut.
Istilah hukum hukum humaniter atau lengkapnya
disebut International Humanitarian Law
applicable in Armed Conflict diperkenalkan oleh International Committee of Red Cros
( ICRC),[1]
yang sebenarnya berawal dari istilah
Hukum Perang, namun karena istilah perang disimi terbilang mengerikan akibat
trauma terhadap PD II dan berbagai peperangan yang masih marak di berbagai
negara, maka istilah Hukum Perang pun diganti dengan Hukum Sengketa Bersenjata
yang kemudian mengalamai pergeseran menjadi Hukum Humaniter.
Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan, adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama
3400 tahun sejarah tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian.[2]
Dalam sejarah Hukum Humaniter Internasional dapat ditemukan dalam aturan –
aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Dan perkembangan modern dari
hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Dan sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun
aturan – aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman pengalaman pahit atas
peperangan modern.[3]
Dalam
suatu konflik bersenjata tentu akan menimbulkan dampak kerugian moral dimana
rasa perikemanusiaan tidak diperdulikan lagi. Atas hal tersebut maka timbul
kesadaran dan kepedulian atas perang maka mereka pun mulai memuat dan
menetapkan ketentuan – ketentuan yang mengatur tentang tata cara dalam hal
berperang dan perlindungannya terhadap para korban yang ikut atau tidak ikut
berperang. Seperti yang kita ketahui sekarang tentang Hukum Den Haag dan hukum
Jenewa.
Perlu diketahui pula bahwa Hukum Humaniter
Internasional sendiri mengenal tiga asas utama di dalamnya, yang merupakan
sebuah landasan terciptanya peraturan hukum, yaitu:
1. Asas kepentingan militer (military necessity), Asas ini dalam pelaksanaannya sering pula
dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip – prinsip sebagai berikut:[4]
I.
Prinsip
pembatasan (Limitation Principle), adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya
pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang
dilakukan oleh pihak yang bersengketa.
II.
Prinsip
proporsionalitas (Proportionality
Principle), yang menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk
sipil atau objek sipil harus proporsional sifatnya.
2. Asas
Perikemanusiaan (humanity), adalah
keharusan pihak bersengketa untuk memperhatikan rasa perikemanusiaan, dimana
mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka
berlebih atau penderitaan yang tidak perlu.
3.
Asas
kesatriaan (chivalry), Asas ini
mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan
alat-alat yang tidatk terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara
yang bersifat khianat dilarang.
Selain itu juga terdapat satu asas, yang yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang
berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata kedalam dua golongan
yaitu, kombatan yang merupakan golongan penduduk yang secara aktif turut serta
dalam peperangan dan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut
serta dalam peperangan, yang disebut dengan “asas pembedaan” atau “prinsip
pembedaan “.[5]
Selanjutnya Mochtar
Kusumaatmadja mengemukakan bahwa definisi
hukum humaniter adalah: “ Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan –
ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang
mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan
perang Itu sendiri”.[6]
Dan dengan demikin, bahwa Hukum Humaniter
internasional ini adalah seperangkat
aturan yang karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat – akibat
dari pertikaian senjata.[7]
Yang mempunyai tujuan antara lain:
1.
Memberikan
perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang
tidak perlu (unnecessary suffering).
2.
Menjamin hak asasi
manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh.
Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak
diperlakukan sebagi tawanan perang.
3.
Mencegah dilakukannya
perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini, yang terpenting adalah asas
perikemanusiaan[8]
Berdasarkan
dari asumsi diatas penulis tertarik tentang asas asas hukum pembentuk peraturan
hukum humaniter itu sendiri. Dan disini penulis ingin ingin secara khusus
mencoba mengupas bagaimana konsep Hukum Humaniter Internasional dalam prinsip
pembatasan yang selama ini dihubungkan dengan aturan konflik bersenjata. Oleh
karenanya maka penulis mengambil judul IMPLEMENTASI PRINSIP PEMBEDAAN HUKUM
HUMANITER INTERNASIONAL TERHADAP KONFLIK BERSENJATA dan
diharapkan dari makalah ini
dapat diketahui dan dipahami dengan jelas mengenai suatu yuridiksi humaniter
yang sebenarnya.
B.
Permasalahan
Sejalan dengan hal-hal seperti yang diuraikan,
penulis tertarik untuk maka timbul
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah “Bagaimanakah implementasi peraturan hukum
humaniter terhadap asas atau prinsip pembedaan dalam konflik bersenjata ?”
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Implementasi, Hukum Humaniter dan Konflik
Mengenai
aturan-aturan hukum, sebenarnya merupakan pengertian dari sebuah sumber hukum,
dimana sumber hukum adalah keseluruhan aturan yang mengikat dan memaksa
sehingga aturan tersebut membatasi ruang gerak terhadap mereka yang ada di
dalamnya dan apabila dilanggar tentu akan mendapatkan sanksi yang tegas dan
nyata.
Jadi disini
sudah menjadi suatu ciri yang hakiki bahwa hukum sudah pasti memiliki aturan ataupun
sumber hukum itu sendiri sesuai dengan ruang lingkup yang dikajinya sebagai
pedoman ayau dasar untuk terlaksananya suatu hukum uang dikehendakinya dalam
masyarakat.
Dan Seperti
yang umumnya kita ketahui saat ini bahwa terdapat dua aturan hukum yang umumnya
digunakan pada hukum humaniter internasional, antara lain adalah;
1. Hukum jenewa
atau konvensi Jenewa 1949, didalamnya
terdiri dari konvensi Jenewa I,II,III, dan IV dan Kemudian Keempat Konvensi
Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 kembali dilengkapi dengan 2 Protokol
Tambahan yakni Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II. Hukum Jenewa
merupakan aturan yang berlaku pada masa konflik bersenjata, dengan tujuan
melindungi orang yang tidak, atau sudah tidak lagi, ikut serta dalam
permusuhan, yaitu kombatan yang terluka atau sakit, tawanan perang, orang
sipil, dan personel dinas medis dan dinas keagamaan.
2. Hukum Den
Haag atau konvensi Den Haag, merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur
mengenai cara dan alat berperang dan terdiri dari;
1)
Konvensi Den haag 1899 yang didalamya terdapat tiga konvensi dan
tiga deklarasi, serta
2)
Konvensi Den Haag 1907 yang
terdiri dari 13 konvensi.
Dari kedua
konvensi yang merupakan aturan dari hukum humaniter internasional ini, maka
Mochtar Kusumaatmdja membagi hukum perang sebagai berikut:[9]
1. Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana
negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata;
2. Jus ad bello, yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi 2 (dua)
yaitu:
a.
Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (condact of war). Bagian ini biasanya disebut The hague laws ( Hukum Den haag)
b.
Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban
perang. Ini lazimnya disebut The Genewa
laws ( Hukum Jenewa)
Perlu
disimpulkan pula, bahwa keseluruhan dari aturan – aturan yang dimuat dalam
Hukum Humaniter ini adalah aturan yang mengatur tentang bagaimana individu
mengambil suatu sikap dan tindakan saat terjadi suatu konflik bersenjata. Hal
inilah yang menjadi ciri khas yang tersendiri dengan Hukum Internasional lainnya,
yang pada umumnya mengatur tentang suatu negara atau lembaga organisasi suatu
negara.
Dan selanjutnya dalam bab ini kita akan
membahas tentang suatu kebijakan implementasi hukum humaniter internasional
terhadap konflik bersenjata. Dan kata kebijakan implementasi sendiri mempunyai
pengertian yang diketahui bahwa implementasi kebijakan menyangkut tiga hal, yaitu:[10]
1. Adanya tujuan atau sasaran
kebijakan
2. Adanya aktivitas/kegiatan
pencapaian tujuan dan
3. Adanya hasil kegiatan
Lalu apa yang
dinamakaan konflik bersenjata, menurut Pietro Veeri, istilah konflik bersenjata
merupakan ungkapan umum yang mencangkup segala bentuk konfrontasi antara
beberapa pihak yaitu :
1. Dua negara atau lebih,
2. Suatu negara dengan suatu entitas bukan-negara,
3. Suatu negara dengan suatu faksi pemberontak, atau
Dalam hukum humaniter Internasional perlu kita
ketahui juga bahwa konflik bersenjata itu terbagi menjadi dua yaitu :
1.
Konflik
bersenjata yang bersifat Internasional,
Adalah konflik bersenjata yang terdapat di
dalam keempat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I tahun 1977. Seperti
yang telah ditetapkan dalam pasal 2
common article[12]
konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 ,
yaitu bahwa konvensi ini akan berlaku dalam hal perang yang dinyatakan atau
konflik bersenjata lainnya yang timbul di antara dua pihak peserta atu lebih
sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu pihak. Konvensi berlaku
pada peristiwa pendudukan sekalipun tidak mengalami perlawanan. Konvensi juga
akan tetap berlaku sekalipun salah satu negara yang terlibat dalam konflik
bukan negara peserta konvensi. Lalu pada pasal (1) ayat (4) jo. Pasal (96) ayat
(3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
2. Konflik bersenjata yang Besrifat
Non-Internasional
Adalah suatu konflik yang dikenal juga swbagai perang pemberontakan yang
terjadi didalam suatu negara, juga dapat berbentuk perang saudara. Ketentuan
mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu
pasal yakni pasal 3 common article konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan II tahun 1977.[13]
Dan berdasarkan dari definisi – definisi tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa implementasi hukum merupakan suatu proses yang dinamis,
dimana pelaksana kebijakan melakukan
suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan
suatu hasil yang sesuai dengan tujuan
atau sasaran kebijakan itu sendiri.
Begitupun yang terjadi pada saat perang atau konflik
bersenjata menurut Hukum Humaniter Internasional, apa saja kebijakan
implementarisnya yang didasarkan pada aturan – aturan hukum yang ditentukan
oleh internasional.
B.
Prinsip
Pembedaan Dalam Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional
Perlu dketahui dalam suatu konflik bersenjata
baik itu bersifat internasional maupun non internasional, terdapat sasaran
militer dan objek sipil sebagai targetnya,terutama ketika terjadi perang atau
operasi militer dan objek sipil sebagai targetnya, terutama ketika terjadi
perang atau operasi militer di lapangan. Hal ini pun terkait dengan prinsip
pembedaan atau distinction principle, yang mulanya hanya ada kombatan dan
non-combatan. Namun sesuai perkembangan maka prinsip pembedaan diperluas
mencakup pembedaan antara penduduk sipil dengan kombatan, serta obyek-obyek
sipil dengan sasaran militer. Kombatan adalah golongan penduduk yang tidak
berhak untuk turut serta dalam suatu pertempuran.[14]
Lalu yang dinamakan objek sipil adalah, semua objek yang bukan objek militer,
dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan sasaran serangan pihak yang
bersengketa. Sebaliknya, jika suatu objek termasuk dalam kategori sasaran
militer, maka objek tersebut dapat dihancurkan atau diserang dan akan
memberikan keuntungan yang signifikan terhadap aksi militer.
a. Tujuan
prinsip Pembedaan
Tujuan
dengan diadakannya prinsip pembedaan ini adalah, untuk mengetahui siapa
dan apa saja yang boleh turut serta dan dilindungi dalam suatu peperangan juga
untuk tujuan kemanusiaan. sebagaimana
yang menjadi Contohnya Penduduk sipil, karena mereka tidak turut
serta atau bertempur dalam peperangan tersebut , maka harus dilindungi dari
tindakan peperangan itu begitupun sebaliknya dengan kombatan yang memang
diperuntukan untuk maju ke medan
pertempuran dan termasuk menu sasaran atau objek serangan, sehingga apabila
kombatan membunuh kombatan dari pihak musuh dalam situasi peperangan, maka hal
tersebut bukanlah merupakan tindakan yang melanggar hukum.
Hal ini sangat penting ditekankan karena yang
namanya perang, sejatinya hanyalah berlaku bagi
anggota angkatan bersenjata dari negara-negara yang bersengketa. Sedangkan penduduk sipil, yang tidak turut
serta dalam permusuhan itu, harus dilindungi dari tindakan-tindakan peperangan
itu. Dan keadaan ini pun sudah diakui
sejak zaman kuno. Hal ini dapat dilihat dari setiap kodifikasi hukum modern
yang kembali menegaskan perlunya perlindungan terhadap penduduk sipil dari
kekejaman atau kekejian perang.[15]
Jadi tujuan prinsip ini selain untuk membagi
atau membedakan kombatan dan penduduk sipil, namun juga bertujuan penting untuk
menjaminnya perlindungan terhadap
penduduk sipil yang menjadi korban peperangan.
b. Asas Umum
Prinsip Pembedaan
Menurut jean Pictet, prinsip pembedaan berasal
dari asas umum yang dinamakan asas pembatasan yang menyatakan bahwa penduduk
sipil harus mendapatkan perlindungan umum dari bahaya yang ditimbulkan akibat
operasi militer.[16]
Penjabaran ini harus diterapkan dalam prinsip pembedaan dalam arti
1) Pihak – pihak bersengketa tersebut setiap saat
harus dapat membedakan antara kombatan
dan penduduk sipil, juga mengambil langkah pencegahan yang memungkinkan untuk
penyelamatan penduduk sipil guna menekan kerugian yang tak disengaja seminimal
mungkin
2) Penduduk sipil tidak berhak;
i.
menyerang dan
bertempur melawan musuh, dan
ii.
dijadikan sasaran
militer.
c. Penerapan Prinsip pembedaan dalam Aturan
Hukum Humaniter
Upaya penerapan yang dilaksanakan atau dilakukan mengenai
prinsip pembedaan oleh para pihak yang turut bersengketa dalam suatu sengketa
bersenjata atau pertempuran memang untuk sejauh ini terlihat dari peraturan
hukum humaniter yang merupakan dasar
hukum dari prinsip ini, yang dibuat baik di dalam konvensi Den haag 1907,
Konvensi Jenewa 1949, maupun Protokol Tambahan 1977.
I.
Konvensi Den haag 1907
Secara implisit terdapat di dalam Konvesi Den
Haag IV mengenai hukum dan Kebiasaan Perang di Darat, khususnya dalam Hague Regulations sering disebut The Soldier’s Vadamecum, sebab ketentuan
pada HR bagi kalangan angkatan bersenjata dianggap sangatlah penting. Dimana
bagian pertama dalam HR ini membahas tentang persyaratan bagi belligerent. Terdiri dari 3 pasal pokok antara lain pada
Bab I pasal 1, 2 dan 3 Regulasi Den Haag (Hague
Regulation) pihak-pihak yang bersengketa
dan kualifikasi dari pihak-pihak yang bersengketa, dipaparkan sebagai berikut:
Pada Pasal 1, kita dapat melihat bahwa tak ada
perbedaan hukum, hak, dan kewajibannya bagi milisi dan korp sukarelawan ini
sama dengan tentara. Dan berhak untuk maju ke medan pertempuran.
Kemudian berdasarkan Pasal 2 Regulasi Den Haag di
atas, maka ternyata ada pula segolongan penduduk sipil yang dapat dimasukkan ke
dalam kategori belligerents,
sepanjang memenuhi persyaratan yaitu :[17]
1.
Mereka merupakan
penduduk dari wilayah yang belum diduduki;
2.
Mereka secara spontan mengangkat senjata atau
melakukan perlawanan terhadap musuh yang akan memasuki tempat tinggal mereka;
dan oleh karena itu
3.
Mereka tidak
memiliki waktu untuk mengatur (mengorganisir) diri sebagaimana ditentukan oleh
Pasal 1;
4.
Mereka
menghormati (mentaati) hukum dan kebiasaan perang; serta
5.
Mereka membawa
senjata secara terang-terangan.
Golongan
penduduk sipil dalam koridor Pasal 2 Regulasi Den Haag itulah yang dikenal
dengan istilah “Levee
En Masse“. Levee En Masse adalah
istilah Perancis untuk wajib militer
selama Perang Revolusi Perancis,
terutama untuk satu dari 16 Agustus 1793
yang secara harfiah artinya "berkumpul retribusi" atau "pemberontakan
secara massal".[18]
Lalu pada Pasal 3, status kombatan dan non-kombatan
pada dasarnya sama yaitu anggota pangkatan bersenjata, namun non- combatan
digolongkan seperti anggota dinas kesehatan dan dapur umum, rohaniwan, dan
sebagainya. Non-combatan ini bukanlah penduduk sipil, melainkan anggota
angkatan bersenjata, hanya saja tidak bertugas di medan pertempuran.
Apabila mereka tertangkap pihak musuh, status mereka adalah sebagai
tawanan perang dan berhak diperlakukan dan dilindungi berdasarkan Konvensi
Jenewa III tahun 1949 mengenai perlakuan terhadap tawanan perang. Namun, jika
situasi menghendaki, mereka bisa saja ditugaskan di medan pertempuran, dan jika
demikian maka mereka adalah kombatan.[19]
Dengan
demikian, menurut Konvensi Den Haag 1907, khususnya mengenai Haag
Regulation (HR) yang dapat dikategorikan sebagai kombatan adalah.
·
Armies (tentara);
·
Militia dan volunteer Corps (milisi dan korps sukarela) dengan
melihat Pasal 1;
·
Levee en masse (penduduk sipil dalam kategori pasal 2 HR)
II.
Konvensi jenewa 1949
Dalam Konvensi
yang terdiri dari konvensi I, II, III dan IV tidak menyebut masalah
kombatan maupun non kombatan, melainkan masalah penentuan bagi korban yang luka
dan sakit yang termuat bab 2 Pasal 13 konvensi I dan II. Serta yang berhak mendapatkan perlakuan tawanan
perang jika jatuh ke tangan musuh pada Pasal 4 pada konvensi III. Namun
meskipun demikian ketentuan yang termuat dalam ketiga pasal tersebut, pada
dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi kombatan dan yang dapat dimasukkan
dalam kategori kombatan adalah:
·
Mereka yang memiliki
pemimpin yang bertanggung jawab atas bawahannya;
·
Mereka yang mengenakan
tanda-tanda tertentu yang dapat dikenal dari jarak jauh;
·
Mereka yang membawa senjata
secara terbuka;[20]
III.
Protokol Tambahan 1977.
Pada protokol
tambahan ini, prinsip pembedaan terkait dengan status kombatan terdapat pada Pasal 43, 44, dan 48. Dan dalam Pasal 43 dengan tegas
menentukan mereka yang digolongkan sebagai kombatan adalah mereka yang termasuk angkatan suatu negara
terdiri dari :
a. Angkatan
bersenjata yang terorganisir,dalam bentuk group atau unit kesatuan dan di bahwa
komando yang bertangung jawab.
b. Ikut serta
secara langsung dalam permusuhan.
c. Pemberitahuan
kepada pihak-pihak lain yang bertikai jika salah satu pihak yang bertikai
memasukkan sebuah kesatuan (agency) dalam angkatan bersenjata mereka.
Lalu dalam Pasal 44 mengatur, tentang kombatan dan
tawanan perang, disini apabila kombatan jatuh ke dalam kekuasaan pihak lawan
maka harus diperlakukan atau menjadi tawanan perang.
Kemudian pada
Pasal 48 yaitu, tentang penjaminan penghormatan dan perlindungan terhadap
penduduk sipil dan obyek sipil. Dimana para pihak dalam sengketa setiap saat
harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan
sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap
sasaran-sasaran militer.
Dan dengan adanya dasar hukum mengenai prinsip
pembedaan tersebut diberlakukan, maka hal ini termasuk dalam kiat yang dilakukan dari hukum humaniter untuk mewujudkan suatu peraturan peperangan
yang mengenal batas tertentu sehingga dapat menjamin nilai hak – hak kemanusiaan.
Dan besar pula harapan masyarakat internasional
untuk dipatuhi oleh para pihak bersengketa sebagai landasan dasar suatu
pertempuran guna memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hukum
humaniter, khususnya kejahatan perang yang dilakukan oleh kombatan dengan
sengaja
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Hukum
Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang karena alasan
kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat – akibat dari pertikaian senjata dan
mempunyai tujuan memberikan perlindungan terhadap kombatan dan penduduk sipil,
serta Menjamin hak asasi manusia untuk mencegah dilakukannya perang secara
kejam tanpa mengenal batas dan terdiri atas tiga asas utama didalamnya yaitu
Asas kepentingan militer, Asas Perikemanusiaan dan Asas Kesatriaan.
Prinsip pembedaan adalah asas yang membedakan kombatan dan penduduk
sipil serta obyek-obyek sipil dengan sasaran
militer dan bertujuan untuk
mengetahui siapa dan apa saja yang boleh turut serta dan dilindungi dalam suatu
peperangan juga untuk tujuan kemanusiaan. Prinsip ini diterapkan dalam Pasal 1,
2, 3 Regulasi Den Haag 1907, Konvensi Jenewa 1949 meliputi Pasal 13 konvensi I
dan II serta Pasal 4 Konvensi III, lalu pada pasal 43, 44 dan 48 Protokol
Tambahan 1977.
B.
SARAN
Dikarenakan pelanggaran terhadap prinsip
pembedaan adalah merupakan salah satu bentuk kejahatan perang maka dalam upaya
penegakan prinsip pembedaan, hendaknya prinsip pembedaan ini merupakan,
sebuah acuan dasar untuk kedepannya bagi
para pihak bersengketa guna mewujudkan suatu peperangan yang mengenal batas,
karena mengingat masih banyak pelanggaran yang terjadi di dunia internasional.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baharuddin
, Ahmad, 2010, Hukum Humaniter Internasional. Universitas Lampung,
Bandar Lampung.
2.
Kusumaatmadja,
Mochtar, 2002, Konvensi-Konvensi Palang
Merah 1949, Bina Cipta, Bandung.
3.
Kusumaatmadja,
Mochtar, 1980, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia, Bina Cipta,
Bandung.
4. Haryomataram, 1984, Hukum Humaniter, Rajawali Press,
Jakarta.
5.
Konvensi
Jenewa 1949
6.
Konvensi
Den Haag 1907
7.
Protokol
Tambahan 1949
8. Verri ,Pietro, 1992, Dictionary of the International Law of Armed
Conflict, ICRC, Geneve, hal.
34-35. dalam Arlina web’s Blog, Apa arti “Konflik Bersenjata”, (diakses 12 Mei 2012 , 21:00
WIB)
9.
Courtesy
of ICRC, Regional Delegation Jakarta. Dalam Arlina Web’s Blog, Tipe-tipe
konflik yang diatur dalm Hukum Humaniter, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/ (diakses 12 Mei 2012, pukul 22:15 WIB)
10. Leese
En Masse, http://en.wikipedia.org/wiki/Lev%C3%A9e_en_masse
(diakses 13 Mei 2012 pukul 12:10 WIB)
11. http://rimaru.web.id/pengertian-implementasi-menurut-beberapa-ahli/ (diakses 12 Mei 2012 , 19:00 WIB)
[1] Ahmad Baharudin Naim, Hukum Humaniter Internasional.
Universitas lampung, Bandar lampung,
2010, hlm 7
[3] ibid
[4] Ahmad Baharudin Naim, Hukum Humaniter Internasional.
Universitas lampung, Bandar lampung,
2010, hlm 32
[5] Ibid, hlm 35
[6] Mochtar
Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter
dalam Pelaksanaan dan
Penerapannya di Indonesia, 1980. hlm.5
[7] Ahmad Baharudin Naim, Hukum Humaniter Internasional.
Universitas lampung, Bandar lampung,
2010, hlm 14
[8] Ibid, hlm.15
[9]I
Mochtar
Kusumaatmadja, Hukum Internasional Humaniter dalam Pelaksanaan dan Penerapannya di Indonesia,
1980. Hlm 12
[10] http://rimaru.web.id/pengertian-implementasi-menurut-beberapa-ahli/ (diakses 12
Mei 2012 , 19:00 WIB
[11] Pietro Verri, Dictionary of the
International Law of Armed Conflict, ICRC, Geneve, 1992, hal. 34-35. dalam
Arlina web’s Blog, Apa arti “Konflik Bersenjata”, (diakses 12 Mei 2012 , 21:00 WIB)
[12] Lihat pasal 2 konvensi jenewa 1949;
Common articles adalah pasal-pasal yang sama atau kembar yang ada di dalam
semua konvesi jenewa.
[13] Courtesy of ICRC, Regional Delegation Jakarta. Dalam Arlina Web’s Blog, Tipe-tipe
konflik yang diatur dalm Hukum Humaniter, http://arlina100.wordpress.com/2008/12/22/apa-arti-konflik-bersenjata/ (dikutip 12 Mei 2012, pukul
22:15)
[14] Haryomataram, Hukum Humaniter, Rajawali Press,
Jakarta, 1984, hal. 63
[15] Ibid, hal.32
[16] Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas
Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm 73
[17] ibid, hlm 77
[19] Ahmad Baharuddin Naim, Hukum Humaniter Internasional. Universitas
Lampung, Bandar Lampung, 2010, hlm 77
[20] ibid